Saat manusia mencoba menjadi Tuhan

Posted on Saturday, July 04, 2009 by Sang Petualang

Tulisan ini hanyalah sekedar refleksi dari apa yang tersisa dari acara “Talkshow 2012, Mengungkap Fakta Ilmiah Dibalik Isu Kiamat 2012” yang penulis ikuti pada tanggal 14 Juni 2009 di Aula Timur Kampus ITB Bandung.

Talkshow diberikan secara ilmiah oleh tiga pembicara; Drs. Widya Sawitar dari Planetarium Jakarta, yang membicarakan tentang sejarah kebudayaan bangsa Maya dan Mesoamerika secara umum yang berkaitan dengan isu kiamat 2012; Dr. Budi Dermawan, staf Astronomi dan Observatorium Bosscha, Institut Tekhnologi Bandung, yang membicarakan tentang sistem Tata Surya yang berkenaan dengan isu penemuan planet Nibiru yang akan menabrak bumi; dan Ibu Clara Y. Yatini, M.Sc dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang membicarakan tentang matahari dan efeknya terhadap bumi yang terkait dengan salah satu skenario isu kiamat 2012.

Dalam Talkshow tersebut dijelaskan secara ilmiah bagaimana sains menjawab perihal isu kiamat 2012. Secara keseluruhan, sains menentang teori-teori ilmiah yang mendukung isu tersebut. Meskipun demikian, dari ketiga narasumber yang ada, tidak ada satu pun yang menegaskan secara langsung perihal benar atau tidaknya isu tersebut. Gamblang secara penjelasan, namun tetap tanpa kesimpulan.

Inti dari tulisan ini bukanlah tentang bagaimana sains menolak teori-teori ilmiah pendukung isu tersebut. Tulisan ini hanyalah saduran dari berbagai coretan yang penulis buat saat mengikuti talkshow tersebut, ditambah pula dari berbagai catatan kuliah dan khayalan sesama teman kampus. Oleh karena itu, corat-coretan ini jauh dari kata ilmiah.

Bersama dengan ratusan peserta talkshow yang hadir pada pagi yang cerah itu, dengan antusias penulis mengikuti satu per satu presentasi yang disampaikan oleh nara sumber, sambil berharap dapat menemukan jawaban tentang benar atau tidaknya isu tersebut. Meski tanpa keputusan yang tegas, penjelasan ilmiah dari ketiga narasumber menyiratkan sebuah penolakan terhadap isu kiamat tersebut.

Sebelum beranjak lebih jauh pada persoalan-persoalan filosofis, penulis perlu menyamakan persepsi terlebih dulu tentang arti dari kiamat yang dibicarakan di sini. Tanpa menolak adanya persoalan akut mengenai persepsi linguistik kata per kata yang menyiratkan ambiguitas nan relatif, secara prerogratif dan diktatif, arti kiamat di sini diartikan oleh penulis sebagai akhir dari eksistensi manusia, baik secara fisis maupun filosofis.

Dari penjelasan ilmiah yang diberikan pada talkshow tersebut, secara umum kita dapat dengan mudahnya berkesimpulan bahwa isu kiamat 2012 tidak lebih dari sekedar isu penghias zaman yang sulit untuk terbukti kebenarannya. Terlebih jika kita flashback kembali, dalam beberapa tahun belakangan ini banyak isu-isu serupa yang muncul ke permukaan, seperti isu kiamat 09 September 1999 (09-09-99) atau 08 Agustus 2008 (08-08-08), namun terbukti tidak benar adanya. Namun, apakah hanya berhenti sampai disitu?

Penulis sendiri melihat banyaknya implikasi-implikasi yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah, secara aksiologis, untuk apa orang-orang modern pengagung tekhnologi zaman ini mengapungkan isu-isu usang tentang kiamat tersebut? Mudah mengatakannya sebagai ulah manusia-manusia “iseng” yang tidak bertanggung jawab, namun bagaimana dengan fakta bahwa beberapa pengarang buku tentang itu merupakan seorang ilmuwan? Bagaimana pula dengan aliran-aliran keselamatan pendukung isu tersebut yang justru dianggotai oleh orang-orang berintelegensia tinggi dengan kedudukan yang penting di bidangnya?

Dari berbagai fakta ini, penulis mencoba merangkai beberapa hipotesa usang mengenai apa sebenarnya penyebab semua ini terjadi. Hipotesa dimulai dari elemen dasar yang membuat tema ini terangkat, Manusia. Terlepas dari fenomena-fenomena alam yang terjadi, manusia yang membuat isu tersebut dan manusia juga yang menerimanya. Manusia yang membuat isu itu berarti tapi manusia juga yang mencari arti dari isu tersebut. Memperhatikan kecenderungan manusia modern saat ini dapat dijadikan jalan keluar dari hipotesa membingungkan ini. Apa kecenderungan manusia modern saat ini? Tema apa yang merajai kebanyakan otak manusia modern saat ini? Dapat kita jawab: Eksistensi. Bagaimana manusia mencari eksistensinya di dunia ini? Sudah sejauh mana manusia mencapai pengertian tentang eksistensinya? Apa efek dari semua itu?

Dulu manusia sangat concern terhadap tema-tema yang bersifat kosmosentris, beranjak kemudian terhadap tema-tema teosentris, dan dengan intelegensianya merubah pemikirannya ke arah tema-tema yang bersifat antroposentris, manusia sebagai pusat segala-galanya. Tak heran jika seorang Rene Descartes dengan egonya mengatakan Cogito Ergo Sum. Kita juga tidak perlu terkejut dengan suburnya pemikiran kaum naturalis yang dengan angkuh mengatakan bahwa tidak ada pencipta alam semesta, bahwa alam semesta ini tercipta dengan sendirinya dan manusialah yang membuat hukum-hukumnya. Peran Tuhan yang pada abad pertengahan sempat merajai pemikiran manusia, semakin tersingkirkan.

Kita juga tidak perlu mengumpat saat seorang Friedrich Niecthze mengatakan bahwa dengan kehadiran sains, Tuhan telah mati. Semua persoalan manusia dan alam semesta terjawab oleh sains dan peran Tuhan hanya digunakan saat manusia belum menemukan jawabannya. Saat persoalan belum terjawab, kita memanggil-manggil Tuhan. Namun saat sains memberikan jawaban, Tuhan tersingkirkan. Tuhan hanya dijadikan sebagai penutup lubang ketidaktahuan.

Kesimpulan dari dasar hipotesa ini adalah bahwa kecenderungan manusia modern pengagung tekhnologi saat ini adalah dengan egoisnya, manusia merasa sudah menemukan eksistensi dirinya dan Tuhan tidak lagi dibutuhkan. Hipotesa ini berlanjut pada sosok manusia yang setelah merasa mengetahui eksistensi dirinya, mencoba untuk mengakhiri eksistensinya. Secara singkat dapat kita katakan bahwa manusia modern saat ini sedang dilanda semacam histeria massa tentang berakhirnya eksistensi manusia (baca: Kiamat).

Sampai disini kita mencoba berhenti sejenak untuk melihat kembali betapa besarnya “Dosa” manusia terhadap Tuhan. Peran Tuhan telah disingkirkan, bahkan Tuhan telah dimatikan, dan setelah itu manusia mencoba merebut skenario berakhirnya eksistensi dari genggaman Tuhan dengan mengapungkan isu-isu tentang kiamat. Manusia mencoba menjadi Tuhan.

Lagi-lagi sampai disini kita berhenti sejenak dan mencoba membuat sebuah renungan, benarkah persoalan tentang isu kiamat 2012 mempunyai implikasi sedemikian besar terhadap tema-tema kemanusiaan yang ada? Silahkan temukan jawabannya dalam diri anda sendiri.

Hipotesa pertama terlahir secara prematur dengan kesimpulan bahwa isu kiamat 2012 hanyalah sebuah upaya gila manusia yang ingin menjadi Tuhan. Hipotesa kedua agaknya terlahir secara lebih ringan, namun tetap berdampak serius bagi sebagian orang, yaitu bahwa isu kiamat 2012 hanyalah sebagai sebuah bentuk mode (Lifestyle), gaya hidup atau apapun namanya, yang sedang digandrungi oleh manusia modern saat ini. Mengapa mayoritas produksi film-film papan atas Hollywood saat ini banyak yang bertemakan tentang kiamat? Dan dengan herannya, konsumen merespon itu dengan sangat antusias. Tak perlu dipertanyakan lagi bahwa produsen film pasti hanya akan mengikuti kecenderungan permintaan pasar demi suksesnya proyek mereka. Saat kecenderungan manusia secara umum berubah arah, isu-isu tentang kiamat bisa jadi akan mundur secara teratur dan akan kembali lagi saat kecenderungan itu mengulang siklusnya. Implikasi ini akan semakin serius jika dikaitkan dengan fenomena bunuh diri masal yang marak terjadi di segala penjuru dunia, terlepas dari berbagai latar belakang yang mendasarinya. Benarkah manusia dapat sedemikian picik pemikirannya sehingga dapat mengorbankan nyawanya hanya untuk sebuah gaya hidup (Lifestyle)? Dengan berbagai fakta dan pertimbangan dalam zaman yang modern ini, silahkan anda temukan jawabannya dalam diri anda sendiri.

Hipotesa terakhir agaknya terlahir secara berlebihan, jika tidak bisa dibilang mengada-ada, namun tetap berada dalam koridor filosofis. Sudutnya agak memudar, namun justru semakin menegaskan kuasa rasio yang sulit ditera batasan-batasannya. Kita harus sadari bahwa meskipun sangat lekat dengan embel-embel mistis dan metafisis, sebuah ramalan “berhak” mendapatkan sebuah kemungkinan ilmiah tentang keterbuktiannya. Harus kita terima bahwa setiap detik masa depan yang akan kita hadapi memiliki kemungkinan untuk menjadi akhir dari eksistensi (baca: Kiamat). Totalitas ketidaktahuan kita memungkinkan hal ini terjadi, meskipun dalam hitungan sepersetrilyun (1:1012) perbandingan. Kecil dan terkesan memaksakan memang, namun dalam tataran ini, aspek filosofis dalam bentuk apapun harus tetap diperhatikan.

Dengan hipotesa seperti itu, kita dapat menerima, katakanlah, secuil sisi kebenaran dari sebuah ramalan yang berasal dari perbandingan kemungkinan tadi. Dari sana kemudian kita beranjak masuk kedalam relung-relung makna dan maksud dari terciptanya isu-isu tersebut. Sungguh sesuatu yang luar biasa bahwa ada suatu isu yang mempunyai implikasi sedemikian besar terhadap berbagai sisi kehidupan manusia yang ternyata hanya berdasarkan sepersetrilyun perbandingan kemungkinan akan keterbuktiannya.

Pada sisi inilah penulis merasa adanya semacam keterpaksaan hipotesa sehingga membuatnya seperti dibuat-buat. Namun, penulis sendiri sangat sadar akan kemungkinan ini, sehingga merasa lebih “nyaman” untuk menghormatinya sebagai potensi kebenaran dibanding mengabaikannya. Atas dasar itulah penulis mencoba meletakkan puzzle terakhir dari hipotesa ini dengan menyimpulkan bahwa pembuat isu tersebut hanyalah bertujuan untuk memanfaatkan keberadaan potensi kebenaran yang berdasarkan sepersetrilyun perbandingan kemungkinan akan keterbuktiannya tersebut. Dalam arti lain bahwa pembuat isu tersebut hanyalah bermaksud untuk meletakkan potensi kebenaran itu dalam telapak tangannya, lalu mencoba menggenggamnya dengan caranya (baca: isu kiamat-nya).

Cukup dengan melihat “harga” perbandingannya saja kita dapat menerka bahwa kemungkinan seperti itu cukup mustahil, seperti menebak seekor ulat diantara sejuta buah apel. Tapi bayangkanlah jika kita dapat menebak buah apel pertama dengan seekor ulat didalamnya, menakjubkan bukan? Rasa menakjubkan itulah mungkin yang sekedar ingin dirasakan oleh pembuat isu tersebut, dengan mengambil satu kemungkinan diantara setrilyun kemungkinan yang ada. Apa pendapat anda? Menggelikankah? Ya, menggelikan memang, namun semoga tidak menjerumuskan anda ke dalam jurang keacuhan tak berdasar, karena dalam tataran filosofis, kemungkinan sekecil apapun harus dihormati setinggi-tingginya. Kemungkinan itulah, yang menurut penulis, dihormati oleh ketiga nara sumber pada talkshow tersebut dengan mengakhiri acara tersebut tanpa kesimpulan apapun.

Dari seluruh hipotesa usang yang terlahir diatas, penulis merasa harus menutupnya dengan sebuah renungan tentang apa dan bagaimana seharusnya kita menanggapi isu kiamat 2012 tersebut. Apapun pro-teorinya, tidak ada salahnya jika kita menolaknya. Dan apapun kontra-teorinya, tidak ada salahnya juga jika kita justru menerimanya. Jika pun nantinya isu itu keliru, kita dapat melanjutkan hidup kita seperti biasa dan tetap berada dalam pertaruhan keseharian kita, ingin hidup yang lebih baik atau kehidupan yang lebih buruk, kita sendiri yang memilihnya. Namun, andaikan saja isu itu terbukti, adakah yang dapat kita lakukan untuk menolaknya? Tidak ada. Tapi adakah yang dapat kita lakukan untuk membuat kehidupan kita lebih baik saat isu itu terbukti? Ada, bahkan banyak. Akan terasa lebih “nyaman” rasanya jika kita menanggapi isu tersebut tidak dengan dimensi kebermungkinan benar atau tidaknya, tapi justru dari dimensi kebergunaannya terhadap kehidupan kita.

Salam Astronomi

----------------------------------------MR------------------------------------------

No Response to "Saat manusia mencoba menjadi Tuhan"

Popular Posts